*~aGusJohn’s Blog~*

Mengalir Bagaikan Air

#044: Enak di Luar, Susah di Dalam


Satu hal yang tak kusukai adalah, ketika mengkritik sesuatu, sementara aku termasuk di dalamnya; menjadi bagian dari sesuatu itu. Seperti halnya diriku menulis tentang Wikusama, sementara diriku adalah pelayannya. Aku seperti tak bisa bebas-lepas untuk bicara. Seperti terkurung dalam penjara. Katak dalam tempurung. Style kritisku selalu kupertaruhkan. Harus mampu meruntuhkan mitos-mitos seperti: ja’im (jaga image), ja-muk (jaga muka), ja-pos (jaga posisi) dst. Padahal, itu semua hampa dan fana, tak ada artinya sama sekali. Hal-hal yang tak kusukai, yang serba formalitas tanpa isi.

Seperti halnya ketika aku akan mengkritik Ulil Abshar-Abdalla dengan forum MPI (Muktamar Pemikiran Islam)-nya yang baru lalu. Forum para pemikir muda Islam itu mendapatkan respon yang positif dari berbagai kalangan, baik di media massa ataupun di kalangan intelektual/cendekiawan besar, seperti Nurcholish Madjid, Solahuddin Wahid, KH. Said Agil Siradj, dsb. Tapi tetap saja bagi saya forum itu menyisakan kelemahan di sana-sini, yang sebenarnya cukup banyak untuk bisa ditelanjangi di forum publik.

Tapi, lagi-lagi kutak berdaya mengkritiknya lewat media massa, karena disebabkan beberapa kali aku diundang rapat untuk merumuskan acara tersebut. Sebuah ironisme, bagaimana aku mengkritik sebuah forum (intelektual mudaIslam), di mana aku bagian dari forum itu sendiri?

Begitupun dengan Wikusama. Bagaimana aku mengkritiknya, sementara aku menjadi bagian sekaligus membangun sistemnya? Sangat beruntung bagi orang tukang kritik, tapi tak ikut membangun atau tak berada dalam sistem yang ia kritik. Mungkin ia akan dengan sangat bebas untuk mengkritik.

Aku jadi teringat petuah guruku, mas Ulil, dalam konteks yang lain dia pernah bicara; “sesuatu itu memang indah dan cantik bila dilihat dari luar. Akan kelihatan wujud aslinya bila didekati, dan semakin kelihatan kelemahannya bila dimasuki”.

Dan itu sangat terbukti. Dua-tiga tahun yang lalu, aku bisa mengkritik NU dalam 20 tulisan per bulan sebelum masuk lebih dalam ke organisasi kemasyarakatan Islam terbesar di Indonesia itu. Kini, betapa susahnya membuat 1 tulisan untuk mengkritiknya.

Ya, itulah realitas. Orang akan begitu mudah mengkritik Wikusama bila dia tidak berada di dalamnya. Padahal, tak bisa dibayangkan, bagaimana beratnya tugas pengurus IAW dan PT Wikusama sekarang untuk membangun jaringan masa depan ini. Karena memang, melihat dari luar itu lebih mudah daripada berada di dalam. Dan, semua orang pun bisa bila hanya sekedar berkomentar.
Enak yang di luar, tapi susah yang di dalam.

Pancoran, 10-10-03(c) GJ sang kritikus..

Oktober 17, 2006 Posted by | Tak Berkategori | Tinggalkan komentar

#043: ~Flying…


Lagu-lagu Kristiani dari RPK (Radio Peduli Kasih) Cawang itu, telah membangunkanku di dini hari ini. Mengingatkanku dengan lantunan merdu tembang-tembang Hindu, di sanggar pemujaan di lereng Gunung Tengger, enam tahun yang lalu. Mengharuskanku malam ini melakukan sesembahan pada Gustiku. Mengurai air mata, menanyakan tentang garis-garis ke arah mana takdir itu akan berlabuh.

Beberapa menit kemudian, ragaku kembali teronggok lunglai di atas kasur kumal, di antara tumpukan buku yang berserakan, di ruang kamar sekaligus perpustakaan. Sementara jiwaku mengembara, pergi, menemui siapa saja yang ingin ia bisa temui dan menumpahkan segenap kelelahan pikiran.

Kepada Mbah Hasyim Asy’ari, belajar tentang kesufian. Ke Dipati Unus, tentang kebangsaan. Ke Gajah Mada tentang politik ketatanegaraan. Ke Raden Ayu Putri Kambang tentang hakekat cinta para raja. Ke Mbah Bisri Mustofa, tempat segala inspirasi ketika menulis itu kumulai. Ke….

Di sini, aku bagaikan seonggok daging tak berguna yang hanya bisa berdiri tegak menyelimuti tulang-belulang. Aku bagaikan terkena ‘kutuk pastu’ seperti dalam cerita-cerita di epos Mahabarata. Seperti Pandawa yang harus hidup di pengasingan, mengembara 12 tahun di tengah belantara hutan. Hidup dalam penyamaran, sebagai pembantu istana di Kerajaan Wirata. Hidup penuh dengan godaan, caci-maki, penghinaan dan penderitaan.

Seperti Prabu Pandu Dewanata yang tak boleh menggauli istrinya, akibat keteledorannya membunuh Resi Kindamana yang sedang bercinta. Seperti sang Krishna sendiri yang tak mampu menghindari guratan takdir, menyaksikan kepunahan bangsanya akibat ulah kecerobohan anaknya yang mempermainkan seorang pertapa (resi) agung. Seperti……..
Yang kesemuanya itu sebenarnya cobaan, yang membutuhkan ketabahan untuk menjalaninya.Mampukah aku?

Andaikan malaikat maut mau memilih hamba yang hina, dan sudah hampir takkuasa lagi menahan beban hidup ini. Andai hutang hidup telah terlunasi. Andai tugas dan kewajiban hidup telah terselesaikan. Andai peradaban telah selesai kubangun. Andai.. Andaikan….
Hanya amanah yang mampu membuatku bertahan. Mengarungi samudera cinta tanpa rasa. Menjalani segala penderitaan menuju kemuliaan.
Sejati.

Padepokan Tebet, 2-10-03, 03:15© GJ with flying…..

Oktober 17, 2006 Posted by | Tak Berkategori | Tinggalkan komentar

#042: Kini, Esok dan Masa Lalu: Sebuah Kritik Terhadap Analisa Prabowo Subiyanto


Minggu, 28 September 2003.
Jam menunjuk ke 17:05 ketika aku sampai di depan pintu ruang eksekutif Stasiun Pasar Turi, Surabaya. Sore ini adalah perjalanan balik menuju Jakarta, setelah cuti seminggu melihat turnamen bola voli antar klub se-JawaTimur di Perumnas Made, Lamongan.

Sebelum masuk ke ruang tunggu stasiun kereta api kebanggaan warga Surabaya itu, kusempatkan dulu beli koran “Surabaya News“, yang kata kangmasku itu ‘reinkarnasi’ dari koran “Surabaya Post” yang dulu. Di halaman 7 dari koran harian sore itu tertulis judul “Krisis Bukan Semua Kesalahan Orba“, hasil liputan wartawan atas kampanye Letjen TNI (Pur) Prabowo Subiyanto yang ikut menjadi salah seorang peserta calon presiden (capres) dari Konvensi Partai Golkar di Kendari.

Kubaca. Kupahami, dan kuamati dengan cermat koran itu. Partai Golkar memang cerdik, pantas kangmasku yang jadi guru itu tergila-gila dan jatuh cinta dengannya, dan dulu ketika Pemilu 1999 ia selalu debat terus denganku.

Di saat partai politik lain masih jalan di tempat (terlibat pusaran konflik), Golkar justru dengan lihainya melakukan “kampanye terselubung” dengan model Konvensi. Inilah salah satu contoh kecerdasan dan kematangan Golkar dalam berpolitik, yang perlu diacungi jempol. Dengan konvensi, maka Golkar bisa mendapatkan banyak keuntungan, diantaranya: pertama, melakukan konsolidasi dari setiap elemen yang dimiliki.

Lihatlah peserta yang ikut konvensi. Ada yang dari TNI, pengusaha, pemilik media massa, artis, pejabat/menteri, anggota parpol, dsb. Konsolidasi tersebut bisa dimaknai sebagai konsolidasi politik, konsolidasi partai, konsolidasi ekonomi, dll. Orang yang dulu takut mengaku Golkar sejak reformasi, kini sudah kembali lagi. Kedua, acara Konvensi itu sekaligus bisa dijadikan sebagai ajang kampanye Golkar untuk menjumput akar massa menjelang Pemilu 2004.

Dalam acara konvensi tersebut, banyak hal yang dikatakan Prabowo. Aku sepakat dengannya dalam beberapa hal bahwa, krisis multidimensi yang terjadi saat ini tak lepas dari peran IMF (baca: Barat). Bahkan, sejak jaman Sriwijaya –yang dianggap sebagai Nusantara Pertama, posisi bangsa ini tidak bisa dilepaskan begitu saja dari pengaruh bangsa lain. Indonesia sebagai (selalu berada dalam posisi) “pheri-pheri”, dan bangsa lain yang kuat yang mampu menghegemoni kita dalam segala bidang sebagai “core”-nya.

Aku sepakat dengan Prabowo, bahwa Golkar terlibat dalam kesalahan di masa Orba. Dan pernyataan itu tak boleh berhenti hanya di situ saja. Perlu ditambahi: seharusnya segala kesalahan tersebut bisa diadili secara hukum. Aku sepakat dengannya, bahwa KKN perlu diberantas sehingga kondisi bangsa tidak semakin parah. Tapi bagaimana dengan kasus tersangka Akbar Tanjung, Ketua Umum Partai Golkar yang telah divonis tiga (3) tahun, tapi kini masih bebas berkeliaran dan bahkan ikut mencalonkan diri jadi capres 2004?

Secara tegas, aku tak sepakat dua hal dengan Prabowo dalam acara itu, ketika ia mengatakan bahwa era reformasi tidak lebih baik dari era Orba. Dia mengambil contoh di bidang keamanan, bahwa kondisi di era reformasi lebih parah. Sejak reformasi bergulir, konflik sosial terjadi di mana-mana. Poso, Ambon, Aceh, Ketapang, dll terus bergejolak sejak Soeharto lengser.
Menjadi sebuah pertanyaan sekaligus jawaban singkatnya; bukankah segala kerusuhan itu merupakan hasil rekayasa dari kelompok pro status quo (kekuatan Orba) yang memang tidak menginginkan adanya perubahan?

Di bidang ekonomi, Prabowo juga mengatakan, kondisi bangsa kita sekarang ini bukannya tambah baik tapi semakin terpuruk. Pertumbuhan ekonomi selalu dibawah 4%, padahal di masa Orba rata-rata di atas 7% selama 20 tahun.

Memang benar, pertumbuhan ekonomi rata-rata di atas 6% selama PJPT I dan itu sangat membanggakan karena belum pernah dicapai oleh pemerintah sebelum Orba. Namun, pencapaian tersebut ditunjang oleh berbagai kemudahan, insentif, dan proteksi yang diperoleh para konglomerat, sehingga struktur ekonomi sangat timpang dan sangat tidak kompetitif. Akibatnya, struktur ekonomi cenderung monopolistik dan sangat tidak adil, karena untuk mempertahankan pertumbuhan itu disubsidi oleh usaha skala menengah dan kecil.

Ketimpangan dan ketidakadilan itu juga tercermin dalam alokasi kredit perbankan yang hanya terkonsentrasi pada sekelompok kecil konglomerat (Syamsuddin Haris, Demokrasi di Indonesia, Gagasan dan Pengalaman,LP3ES-Jakarta, 1994). Jadi, sebenarnya semasa Orba itu rakyat tidak hanya tidak berdaya secara politik, tapi juga memiliki ketidak berdayaan pulasecara ekonomi. Ekonomi tidak berpihak pada kepentingan rakyat kecil, tapi kongolomerat.

Prabowo mungkin lupa, sesuatu yang terjadi saat ini, tak bisa dilepaskan dari peristiwa masa lalu. Dan hari ini akan menentukan hari esok. Keterpurukan bangsa saat ini, tak bisa dilepaskan sebagai akibat dari kebijakan pemerintahan sebelumnya. Awal mula kerjasama dengan IMF dan penghambaan diri secara total sebagai bangsa terhadap kepentingan Barat yang dimotori oleh Soeharto dengan kendaraan Orbanya, adalah simplifikasi contohnya. Belum secara detailnya.

Seperti yang dikatakan oleh Jose Ortega Y. Gasset, masa lalu adalah masa lalu bukan karena ia terjadi pada orang lain (pada masa lalu), tetapi karena ia membentuk bagian-bagian kehidupan kita di masa kini. Kehidupan sebagai realitas merupakan kehadiran absolut: kita tidak bisa mengatakan tidak ada sesuatu apapun kecuali yang hadir pada masa kini. Karena ada masa lalu yang “aktif” pada masa kini (Ortega Y. Gasset, “Histori as a System” dalam Hans Meyerhoff [ed], The Philosophy of History in Our Time, 1959).

Kesadaran kritis akan masa lalu dalam konteks seperti itu tampaknya yang tidak dimiliki oleh masyarakat dan juga di kalangan elite kita, termasuk oleh Prabowo. Karena itu tidak mengherankan kiranya jika krisis bangsa ini hanya dilihat sebagai krisis masa kini. Ia dianggap semata-mata sebagai krisis ekonomi dan politik masa kini yang tak ada akarnya di masa lalu. Karenanya, cara pandang dan solusi selama ini yang ditawarkan juga bersifat jangka pendek, dan untuk kepentingan politik sesaat. Akibatnya, bangsa ini tetap dalam kondisi yang bersifat “ad interim” dan carut-marut sistem yang tak terpecahkan hingga kini (Pitutur, hal. 3).

Memahami demikian, sungguh sangat unik, bila seorang calon presiden seperti Prabowo Subiyanto tidak memahami visi geopolitik bangsanya secara benar. Jika demikian, lalu mau dibawa ke mana arah bangsaku ini?
Wallaahu’alam bi ash showab.

Stasiun Ps. Turi, Surabaya, 28-09-03
(c) Gus John

Oktober 17, 2006 Posted by | Tak Berkategori | Tinggalkan komentar