*~aGusJohn’s Blog~*

Mengalir Bagaikan Air

#129: Meracik Wacana, Melacak Indonesia (Res:)*

pitutur1Judul: Meracik Wacana, Melacak Indonesia
Penulis: Hasyim Wahid, dkk
Tahun: Pitutur, Edisi I/Juli 2001
Penerbit: Yayasan KLIK (Kajian & Layanan Informasi untuk Keadilan Rakyat)
Hal: 76 halaman

Masa kini (the present) adalah akibat dari masa lalu (the past). Baik-buruk, senang-sedih, gembira-duka, untung-malang, yang kita rasakan saat ini adalah akibat dari kejadian masa lalu. Tapi, waktu tak akan dapat diubah atau ditarik ke belakang. Waktu akan terus berjalan. Semuanya telah terjadi.  Saat ini pun akan menjadi masa lalu (baca: sejarah) di masa yang akan datang (the future). Dan karena sejarah biasanya selalu berulang, maka dengan belajar tentang masa lalu, kita tidak akan terkejut, heran, atau malah akan terjebak dalam perjalanan sejarah yang sama.

Dengan belajar masa lalu, akan menjadi rujukan kita buat menatap masa depan. Buku ini sangat menarik untuk belajar tentang sejarah asal-usul tentang bangsa Indonesia.

Prototype Indonesia

Kini kita sedang berjalan dari peristiwa yang sudah terjadi (the past), sedang terjadi (the present) menuju ke peristiwa di masa depan yang belum pasti (the future). Meskipun belum pasti, namun sesungguhnya kita bisa merancang bagaimana masa depan kita nanti. Untuk mencapai hal itu, kita mesti mau menerima dan mengakui masa lalu kita dengan sejujur-jujurnya. Setelah itu, baru kita mulai bisa merencanakan dan merekayasa masa depan kita.

Proto Indonesia dapat dianalisis dari 3 hal:
1. mulai kemunculannya sebagai wilayah adminstratif;
2. faktor bahasa, dan
3. faktor pendidikan

1. Sebagai wilayah administratif, Indonesia mulai ada sejak adanya Traktat London (17 Maret 1824) yang ditandatangani antara Inggris dan Belanda. Isi traktat ini adalah pembagian wilayah Bengkulu untuk Belanda, dan Singapura untuk Inggris. Sejak saat itulah Belanda melakukan rekayasa di bidang sosial, budaya, politik dan ekonomi dengan sebebas-bebasnya di Kepulauan Nusantara, kecuali Aceh (karena baru takluk tahun 1905). Traktat ini juga menciptakan batas wilayah yang dikuasai sistem kolonial (dan ekonomi) yang berbeda sifatnya: maritim dan komersial (Singapura by Inggris) di satu sisi, dan pertanian (Bengkulu dan Nusantara) di sisi yang lain.

2. Faktor Bahasa, cikal-bakal bahasa Indonesia adalah bahasa Melayu yang merupakan bahasa pengantar perdagangan (lingua franca) di masa lalu. Orang yang pertama kali membuat tata bahasa Melayu adalah Raja Ali Haji dari Riau (1869). Sebelumnya, Frederick de Houtman telah menulis buku semacam itu di akhir abad 16, berjudul “Spreck ende Woord-boek“.  Sejak saat itu bahasa Melayu sudah dapat dijadikan bahasa pengantar untuk menyampaikan konsep-konsep kognitif.

3. Faktor pendidikan. Telah menghasilkan segelintir orang terdidik yang dapat memahami konsep nasionalisme secara utuh. Mereka mulai memimpin bangsanya dan berusaha untuk memperbaiki nasib inlander.

Asal-Usul & Mentalitas Bangsa

Istilah “Indonesia” sendiri telah digunakan oleh George Windsor Earl, orang Inggris yang tinggal di Singapura pada 1850. Ia menggunakan istilah “Indunesians“.  Pada tahun yang sama, istilah ini juga ditulis dalam sebuah artikel oleh James Richardson.  ET Hamy, seorang Prancis mengutip istilah itu dari Logan dalam artikelnya di tahun 1877, demikian pula AH. Keane, mengutipnya pada 1880. Di lingkungan Jerman/Belanda, istilah tersebut dipopulerkan oleh Adolf Bastian mulai tahun 1884.

Karena Indonesia adalah negara kepulauan, pada zaman Sriwijaya dan Majapahit kita memiliki armada laut yang kuat. Demak berupaya berjaya di laut, tapi dikalahkan oleh Portugis, maka Demak (baca: kita sebagai bangsa) kemudian terkunci di darat. Demak Conquered. Kekalahan Demak tersebut berimpas kita menjadi bangsa yang memiliki struktur mental “Land-locked” dan “inward-looking“.

Land-locked adalah kecenderungan sikap mental yang berkembang di kalangan masyarakat yang melihat bahwa daratan sebagai satu-satunya sumber kehidupan. Kecenderungan ini berimplikasi politik dan sosial-ekonomi sekaligus. Mentalitas land-locked menciptakan: pertama, kultur politik yang secara terus-menerus mengeksploitasi daratan beserta isinya, karena politik yang berkembang adalah politik memperebutkan kekuasaan di darat. Sultan Agung, Raja Mataram telah menghancurkan pelabuhan Jepara, Tuban, Gresik dan Surabaya hanya demi mempertahankan kekuasaannya dari para oposisi. Di era dia juga yang menyebabkan sektor pertanian lebih diperhatikan daripada sektor laut/maritim. Rezim Orde Baru menjadi contoh selanutnya, di mana Orba lebih condong melipatgandakan TNI AD daripada TNI AL.

Kedua, sumber daya laut tidak termanfaatkan secara maksimal. Padahal, laut merupakan pilar ekonomi dunia (minimal regional) dan pilar pertahanan kedaulatan negara. Sebagai negara kepulauan, bagi Indonesia ini sangat merugikan. Laut sebagai sumber daya ekonomi terabaikan. Laut sebagai lalu-lintas barang tidak termanage dengan baik, sehingga lebih banyak dikuasai asing. Lihat saja usaha-usaha impor-ekspor lebih banyak asingnya daripada lokal. Laut sebagai wilayah pertahanan juga dilupakan, sehingga pencurian ikan, pelanggaran batas wilayah oleh tentara asing, illegal logging dengan bebas hilir-mudik mengeruk harta negara kita.

Land-locked berimplikasi pada cara pandang inward-looking, yakni cara berpikir lokal yang meyakini bahwa perubahan-perubahan di dalam negeri merupakan kreativitas murni masyarakat lokal. Misalnya, peristiwa G30S, jatuhnya Bung Karno, jatuhnya Soeharto, pemberontakan DI/TII, Permesta dll dianggap sebagai persoalan lokal. Padahal, tangan-tangan asing selalul bermain. Dalam hal ini negara kapitalis, Amerika Serikat. Bahkan dalam pilpres sekalipun kita tidak berpikir secara geopolitik yang global. Seolah-olah murni itu pilihan masyarakat. Kita tidak pernah sadar ada tangan-tangan dari luar yang ikut “mewarnai” proses pilpres tersebut.

***

Pada masa penjajahan Belanda, dibuatlah UU Kependudukan yang membagi warga negara menjadi 3 kelas, yakni:
1. warga negara kelas satu (asing/Barat);
2. warga negara kelas dua (asing/Timur), dan
3. warga negara kelas tiga (pribumi/inlander).

Ketika warga kelas dua, khususnya Tionghoa melakukan konsolidasi ekonomi -yang sebenarnya merupakan rekayasa kebijakan monopoli dari rezim kolonial- maka terjadilah kecemburuan sosial di kalangan inlander. Tahun 1740 terjadilah kerusuhan anti Cina yang dikipasi oleh Belanda, sehingga terjadi pembantaian terhadap etnis Cina dari Batavia hingga Semarang. Karena kita ini bangsa yang a-historis, maka kerusuhan semacam ini muncul lagi di Mei 1998. Bangsa kita yang terpuruk akibat sistem kapitalis, di mana produsen adalah Asing/Barat, tapi masyarakat kita melampiaskan anarkinya terhadap etnis asing/Cina, yg secara sistem ekonomi sebenarnya hanya sebagai medium dari produsen (asing/Barat) ke konsumen (pribumi/inlander). Terlepas bahwa ada indikasi etnis Cina hidup “eksklusif” (tidak mau berbaur), tapi anarkisme pribumi tersebut menandakan bahwa kita ini memang mudah diadu-domba, dan yang pasti tidak belajar sejarah.

Pada awal abad 20, H. Samanhudi mendirikan Serikat Dagang Islam (SDI) dalam rangka melakukan konsolidasi kekuatan ekonomi pribumi. Saat yang bersamaan, kelompok Islam tradisionalis mendirikan Nahdlatul Tujjar (Kebangkitan Kaum Pedagang). Akan tetapi keduanya akhirnya terjebak dalam dunia politik praktis, sehingga SDI menjadi SI, dan NT menjadi NU. Akibatnya kita tidak memiliki kekuatan ekonomi yang solid sehingga perekonomian tetap dikuasai Belanda, dan setelah Belanda pergi beralih ke Cina (karena mereka lebih siap/warga kelas dua).

Indonesia Abad 21

Masuk abad 21, kita sudah sampai pada kapitalisme liberal transnasional. Fenomena ini melahirkan kelas transnasional yang berwatak sangat opurtunis. Jika Indonesia aman, mereka tetap tinggal untuk menikmati keadaan. Namun bila terjadi kerusuhan, mereka pun kabur ke luar negeri.

Untuk melangkah ke masa depan, perlu kita perhatikan 3 hal berikut:

1. Pidato Collin Powel (Menlu AS) di depan Senat AS yang mengatakan bahwa Cina akan menjadi rival potensial, meskipun tak perlu menjadi lawan. Powell menganggap penting untuk menjalin hubungan dengan 3 negara, yaitu India, Indonesia dan Australia. Ini untuk menjaga hegemoni AS di wilayah selatan. Australia dapat dipakai oleh AS untuk berperan sebagai “polisi”.

2. Adanya isu yang menyebutkan bahwa ada kekuatan-kekuatan asing berencana untuk memecah Indonesia menjadi 6 wilayah.

3. Juni 2000, Rusia, Cina, Kazakhstan, Krigiztan, dan Tajikistan membuat pakta untuk melawan hegemoni Barat di dunia dalam bidang ekonomi, politik dan militer.

Untuk membangun Indonesia di masa depan diperlukan pemimpin yang memiliki visi geopolitik. Para pemimpin bangsa Indonesia di masa lalu memiliki visi ini -Syahrir, Tan Malaka, Soekarno dan Hatta. Dengan visi geopolotik inilah mereka tahu bahwa ada UU Agraria tahun 1870 berlaku untuk masa 75 tahun. Artinya, di tahun 1945 akan terdapat tanah tak bertuan yang terbentang dari Sabang sampai Merauke di wilayah Hindia Belanda. Dengan memiliki pengetahuan global ini mereka merancang upaya-upaya untuk memerdekakan bangsanya. Dan ketika terjadi Perang Pasifik, mereka berhasil mencuri momen ini.

Perang dingin antara Blok Barat dan Timur berakhir pada tahun 1990. Namun karena pemimpin oposisi di Indonesia tidak memiliki visi geopolitik ini, maka mereka tak mampu mencuri momen untuk menurunkan rezim Soeharto. Padahal waktu itu sesunguhnya back up AS kepada Soeharto sudah tidak intens lagi karena bahaya besar kekuatan komunis dunia -Uni Sovyet- sudah lenyap.

Di masa Orde Baru, AS turun tangan langsung untuk membuat konsep bagi Indonesia. AS telah membuatkan blue print yang tinggal dijalankan di bidang ekonomi, politik, sosial, dan militer. Wdijojo Nitisastro tinggal duduk saja sebagai Chief Economic Policy Maker. Koentjaraningrat tinggal menjalankan LIPI sebagai Chief Social Engineer untuk melakukan rekayasa sosial. Ali Moertopo tinggal melaksanakan strategi di bidang militer.

Setelah Uni Soviet hancur, AS merasa tidak perlu lagi membuatkan konsep untuk Indonesia. Kini mereka hanya menuntut agar kita normatis saja -demokrasi, pemilu, liberalisasi ekonomi, HAM, lingkungan hidup, dan seterusnya. AS sudah tidak merasa perlumembantu membuat konsep untuk Indonesia.

What’s Next? Globalisasi

Globalisasi telah melanda Indonesia bagai air bah. Sekarang pilihannya adalah kita mau berenang atau tenggelam. Jika kita tidak memiliki kesadaran akan masa lalu, maka pengetahuann up to date untuk masa sekarang juga tidak ada.

Kita juga mesti memiliki kesadaran akan fakta sejarah mengenai terjadinya gelombang pembuangan sampah peradaban Eropa. Gelombang  1 pembuangan sampah peradaban ini ke ke benua Amerika telah mengakibatkan musnahnya jutaan suku Indian, penduduk asli Amerika yang telah memiliki peradaban tinggi. Kemudian gelombang 2 pembuangan sampah peradaban ke Asutralia telah menimbulkan pemusanahan pada suku Aborigin.

Dari fakta ini kita mesti menyadari bahwa mungkin saja mereka akan melakukan pembuangan sampah peradaban gelombang 3. Bisa saja Irian Jaya (Papua) dan Papua Nugini dimerger lalu dijadikan tempat pembuangan berikutnya, toh korbannya paling cuma 6 juta orang Papua saja.

Melihat hal ini, pemerintah Indonesia harus waspada atas setiap isu yang ada tentang Papua. Masyarakat Papua juga harus bisa bersikap dewasa. Jangan karena rezim Orba berbuat salah, kemudian kecewa dan melawan pemerintah NKRI. Karena bagaimanapun kekecewaan itu sangat rentan untuk ditunggangi oleh Barat agar Papua bisa pisah dari NKRI.  Rakyat Timor-Timur yang kini menyesal setelah menjadi Timur Leste perlu menjadi pelajaran bagi orang Papua. Bahwa lepas dari NKRI bukanlah pilihan yang tepat. Jika orang Papua masih tetap ngotot merdeka, maka tunggulah saatnya mereka sebagai etnis akan lenyap bagaikan suku Indian dan Aborigin.

***

Buku ini sepertinya sangat cocok buat generasi muda agar tidak menjadi generasi bangsa yang a-historis.

*dikutip dari epilog Pitutur, plus sedikit polesan oleh penyunting.

(c)aGus John,
Wisma Bakrie Lt-4, 25 Feb 2009

Februari 27, 2009 - Posted by | RESENSI BUKU, Sejarah & Peradaban, Sosial-Politik | , , ,

5 Komentar »

  1. salam
    mas dimana kira2 saya bisa beli buku pitutur ini

    salam

    Komentar oleh ipul | Februari 14, 2011

  2. salam
    mas dimana kira2 saya bisa beli buku pitutur ini atat no telp yang bisa di hubungi

    salam

    Komentar oleh ipul | Februari 14, 2011

  3. Bukunya itu sifatnya terbatas, Pak dan tidak diperjual-belikan.
    Kalo Bapak berminat bisa saya foto copy-kan..

    Komentar oleh agusjohn | Februari 14, 2011

  4. bisa pak bagaimana caranya
    dan kirim bgm / trasfer di rekening mana

    salam

    Komentar oleh ipul | Februari 14, 2011

  5. salam
    Mas gimana caranya agar saya bisa photo kopi bukunya
    ada tidak no kontak yang bisa saya hubungi

    salam

    Komentar oleh ipul | Februari 27, 2011


Tinggalkan komentar